Minggu, 27 November 2011

Antara Manggung, Hand Phone, dan Ine Febriyanti



Oleh: Nuri


Minggu, 27 Nopember 2011 saya menjadi saksi hidup atas apa yang terjadi dengan pacar saya, Paunk (baca:Mbem) yang harus menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang akhirnya semua rasa tercampur menjadi satu, halaaah. Karna hidup banyak rasa uuuy.. Hari ini pun menjadi “sesuatu”.
Jadi gini, si mbem sang drummer betawi tulen pagi ini mau MANGGUNG di sebuah panggung hiburan pinggir jalan sekitar HI di acara car free day. Manggung dengan bermain drum bersama bandnya adalah impian mbem dan suatu hal yang membuat mbem bahagia luar biasa. Disini saya dipercaya untuk menjadi dokumentasi seksi. Eh kebalik, seksi dokumentasi maksudnya, untuk meliput aksinya. Yup pagi-pagi buta jam 7 kami berangkat ke HI, walaupun saya belum mandi hahahaha..
Satu per satu personel band datang hingga semuanya sudah berkumpul, setelah menunggu 30 menitan akhirnya bandnya dipanggil, mbem pun semangat sekali dengan membawa benda kesayangannya, sumpit drum, langsung aja dia melompat ke panggung. Saya pun siap beraksi dengan kamera saya. Mbem yang susah mingkem ampe asem, kontan membuat saya siok karena ternyata mbem bisa mingkem kalo main drum! Tapi tetep ganteng kok. Senang sekali melihat semangatnya. Seusai perform, kami istirahat dengan teman-teman bandnya. 







          “Ndut, kita mau makan-makan dulu di Mc.D kemang” kata mbem
          “HAAH JAUH AMAT KE KEMANG, di Sarinah kan ada, lebih deket” kata saya
          “Yah ga papa kan aku yang nyetir naek motor” kata mbem
          Kata-kata dari mbem melemahkan hati saya hingga membuat saya menyerah dan “Oke dah yuk berangkat.”
          “Ada yang ketinggalan ga ndut?” mbem mengingatkan
          “Ga ada sayang”


Kami pun berpencar berhamburan kesana kemari menuju parkiran masing-masing karena dari awal berangkat kita berpencar menuju satu titik, kemudian berpencar lagi untuk menuju satu titik. Mengerti maksud saya? Oke kita lanjutkan. Di perjalanan, yang belum jauh dari HI, tiba-tiba penyakit mbem kambuh. Penyakit ini secara normal dialami oleh orang berusia 70-an baik pria maupun wanita.  Penyakit ini bisa membuat orang yang mengalaminya tidak bisa ingat dengan apa yang sudah atau baru ia lakukan. Kamu tau apa? Yup, benar! kamu pintar sekali. PIKUN jawabannya.
         
          “Ndut liat HAND PHONE aku ngga?” kata mbem
          “Ngga ada di aku mbem” jawab saya
          “Coba liat di tas aku deh ndut, cariin ada di situ ngga?” pinta mbem
Dengan motor sedang dalam keadaan berjalan, mbem memberikan tasnya yang berada di depan ke saya yang sedang dibonceng di belakang. Saya menerima ta situ, dan mulai melaksanakan perintahnya, mengaduk-aduk isi tas mencari benda kecil itu, namun hasilnya.
          “Ga ada mbem, emang terakhir kamu taro dimana?”
          “Ga tau ndut lupa” Jawab mbem dengan polosnya


Kamu bisa bayangkan kan? Belum ada 60 menit perasaan saya saat terakhir ia sebelum manggung, ia lupa kapan  terakhir memegang hapenya dan ditaro dimana. Karena penasaran, ia pun menghentikan motornya di pinggir jalan kuningan dan mencari hapenya di saku jaket, celana, tas dia, tas saya, namun nihil. Saya sms hapenya, namun nonakif. Penasaran mbem bertambah akhirnya kita putar balik menuju HI. Terdengar suara ayu ting-ting -Kesana kemari mencari si henpon. Namun yang kucari sudah tidak ada, sayaaaaang, yang kuterima segagang sapu, membuat aku frustasi dibuatnya-
Pahit menerima kenyataan, mbem ting-ting belum menyerah, ia masih masih merasa punya harapan, mungkin saja hapenya terbawa oleh teman bandnya. Kami pun tetap berangkat ke Mc. D kemang menyusul teman-temannya. Sekejap suasana menjadi mencekam, diam tanpa suara. Tiba-tiba mbem memecahkan keheningan dan menciptakan keramaian saat,
          “Ndut aku lagi inget-inget ini terakhir aku naro hape dimana, masalahnya aku bener-bener lupa sama sekali terakhir hape aku dipegang. Tau-tau ilang” mbem menjelaskan seolah tau kegelisahan saya
          “Hahahahaha” saya tertawa lumayan keras sampai orang-orang di sekitar jalan menengok ke arah kami. “Hah jadi dari tadi kamu diem tuh lagi mikirin itu mbem? Yauda moga aja beneran kebawa sama temen kamu” Saya berusaha menenangkan
          Sesampainya di Mc.D teman-temannya taka da yang tahu tentang keberadaan hapenya. Tak mau terhanyut dengan rasa sedihnya, mbem langsung memesan makanan dan makan dengan lahap. Diam-diam saya memperhatikan. Mbem selalu terlihat ceria apapun situasinya. Saya suka itu. Berbeda 180 derajat dengan saya yang tidak bisa menyembunyikan situasi hati saya di raut wajah saya. Di sela-sela makan, ia tanya-tanya ke saya soal undangan yang saya berikan ke mbem via facebook yaitu sebuah acara nonton dan diskusi film karya INE FEBRIYANTI –salah satu idola mbem- Hah saya pikir ia tidak tertarik dengan acara itu mengingat acara itu tentang film, bukan band. Karena ada mba Ine itu makanya ia mau datang ke acara tersebut.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan ke kineforum di TIM. Namun acara masih 2 jam lagi akhirnya mbem memutuskan untuk ke Gallery Indosat Sarinah terlebih dahulu untuk membuat kartu sim baru dengan nomor hape yang sama. Malang-malang putung ternyata disana ramai sekali antriannya. Mbem rela menunggu, hingga tertidur. Karena saya tidak betah tak ada yang bisa diajak mengobrol, dan kondisi ruangan yang panas, saya kabur ke tempat yang dingin yaitu Matahari. Yup matahari yang satu ini dingin. Setengah jam kemudian saya kembali ke mbem, ternyata dia sudah bangun, namun nomor antrean masih sangat lama. Saya pun terbang lagi ke matahari, karena saya pikir mbem bakal tidur lagi. Saat saya mulai bosan di matahari, setengah jam kemudian saya kembali lagi melihat kondisi mbem dan memastikan jadi ke TIM atau tidak karena 15 menit lagi, acara dimulai. Hah tak kusangka, tak ku kira, ternyata antrean pun juga masih lama.
          “Jadi ke TIM ga kita, dah mau mulai ni acaranya?” Tanya saya
          “Jadi. Tapi nanggung ni antreannya bentar lagi.” Jelas mbem


Sekitar 20 antrean lagi, kami pun memutuskan untuk menunggu berarti sekitar setengah jam lagi. Hmm mbem memang tak seheboh dan terlihat kurang semenggah dengan film. Berbeda dengan mbem yang saya kenal dulu sekitar 4 tahun lalu. Dulu dia sering berorasi kepada saya mengenai film ‘setiap frame begitu berharga’. Kalimat itu selalu ia ucapkan saat ingin menonton film. Ia tidak ingin kehilangan satu detikpun dari sebuah film. Dia sangat gesit sekali jika ingin nonton film, telat satu menit saja, dia berlari-lari menuju bioskop. Saya berusaha menyamai langkah kakinya untuk mengejar dia, ‘cepetan ndut, udah telat ini’. Dalam hati saya berkata ‘belom telat ini mah, huh’ Namun sekarang, telat 1 jam pun mbem ga masalah.
Setengah jam kemudian, tibalah saatnya nomor antrean mbem dipanggil. Selesai mengurus pembayaran, kami pergi ke TIM. Masih malang-malang putung juga ternyata, karena telat 1 jam lebih, kami tidak diperbolehkan masuk bioskop. Itu sudah peraturannya.
          “Sial banget ya gua hari ini, hape ilang, di indosat tadi kelamaan, nyampe bioskop ga boleh masuk, padahal itu film dari ine,, yang udah lama banget dari aku suka dari SMA haduuuuuh..” mbem mengeluh
          “Heh, ga boleh bilang sial, siapa atau ada hikmahnya di balik ini semua, tuh mba ine samperin aja” hibur saya yang saat itu melihat ine di depan mata saya.
          “Ah malu aah ntar aja” jawab mbem
Acara nonton film selesai, saatnya dibuka acara diskus film, terlihat mba ine masuk ke dalam bioskop. Tak mau ambil risiko, mbem bertanya ke bagian informasi boleh masuk atau tidak, dan ternyata boleh. Kami masuk ke dalam bioskop dan mbem bingung mau bertanya apa karena ia tidak menonton filmya. Namun saat bertanya pada mba Ine ternyata filmnya boleh diminta kapanpun dan siapapun yang mau. Mba Ine pun memberikan nomor kontaknya yang bisa dihubungi, dan mbem sukses berfoto dengan sang idola. Senangnya bukan main dia.
          “Hah kenapa rasanya kok jadi balik lagi ya ke masa dulu saat masih semenggah di bidang film. Disaat aku udah mulai meninggalkan dunia perfilman pas masih kuliah, dan kembali ke band yang udah aku impi-impikan tapi justru jadi seneng lagi di film gara-gara ada Ine Febriyanti di bidang film” Mbem curhat.
          “Berarti kamu masih ababil mbem, belum dapet jati diri yang seutuhnya” jawab aku sok tau
Sebenarnya aku agak menciut dikit mbem berkata seperti itu, karena toh mbem bertemu dengan saya di satu organisasi film. Yang kemudian berlanjut menjadi pacar. Kesannya ia sudah tidak mengingat dan mengindahkan hal itu. Saya tidak ingin dikaitkan dengan itu.
          “Tuh hari ini ga sepenuhnya sial kan?” Hibur saya
          “He he tapi semua ini ada seneng ada sial ndut. Manggung maen drum dengan band itu impian banget ndut setelah sekian lama ga manggung. Terus ngefans sama Ine Febriyanti tuh dari SMA ndut, berapa tahun tuh, 8 tahun. Dan akhirnya ketemu juga, bisa ngobrol, foto bareng, hah Ine Febriyanti ndut, jarang ada yang kenal. Inget banget pas dia bawain acara ‘Fenomena’ dulu dari dia masih gadis, ampe dia hamil pun masih ngebawain acara itu. Dan akhirnya bisa ketemu juga haaaah. Bikin film pula, yang dulu aku respect banget sama film. Hah padahal lagi seneng-senengnya sama ngeband. Dua hal yang bikin aku seneng hari ini harus dibayar dengan sebuah hand phone. Haaaah”


***






Selasa, 22 November 2011

Selamat Tinggal Sahabatku (Karya Siswa Al Azhar 19 Cibubur)





By: Adilla Zharifa


                Aku memakai baju gamis hitam yang sudah berantakkan walaupun baru disetrika. Dengan mata lembab aku berjalan menuju mobil yang sudah menunggu. Di perjalanan, aku teringat sebuah kisah yang takkan pernah kulupakan. Tentang hal yang menghantuiku beberapa hari ini. Kisah yang sangat buruk. Aku ingin melupakannya tetapi tidak bisa karena itu salahku. Dan sekarang aku malah benar-benar ingat setiap detik kisah itu.
                “Aku gak mau naik motor!” sahut Mira.
                “Kamu kan belum pernah nyoba, kalau nyoba kecanduan deh!” rayuku.
Mira tak terpengaruh sama sekali. Dia tetap melanjutkan lukisannya.
                “Kamu kan gak ada yang jemput. Orang tuamu masih kerja, kakakmu lagi pergi, adikmu? Mana mungkin! Dia masih berumur lima tahun”, lanjutku.
                “Aku bisa jalan”.
                “Kalau orang tuamu tahu kamu berjalan dari sini ke rumah, dia akan marah. Dari sisni ke rumahmu kan sangat jauh!”
Aku berhenti bicara tepat saat Mira berhenti melukis. Dia menatapku dan mengangguk ragu.
                Akhirnya mobil berhenti di depan pagar. Saat aku keluar mobil, tiba-tiba aku merasakan hujan. Aku mengambil paying pemberian Mira dan berjalan hati-hati ke dalam tempat itu.
                “Kamu yakin gak aka nada apa-apa?”
                “Percaya deh, naik motor gak seburuk yang kamu pikirkan.” Tiba-tiba hujan turun”
                “Ayo! Cepat naik sebelum deras!” Mira pun memakai helm dan menaikki motorku. Aku membawa motor itu dengan kecepatan yang cukup tinggi.
                Aku duduk di tikar yang telah disediakan. Dalam beberapa detik, air hujan makin deras. Dan aku baru sadar, air mataku juga turun dengan deras. Aku menatap ke atas, ke paying yang tembus pandang pemberian Mira. Air hujan terlihat berjatuhan.
                “Jangan terlalu kencang ti!”
                “Enggak akan apa-apa! Santai aja!” Aku menaikkan kecepatan motor dan hujan malah makin deras. Aku menengok ke belakang melihat Mira yang ketakutan menatap ngeri melihat mobil yang ada di depan. Tiba-tiba air mengalir di pipinya. Aku memandang truk besar di depan dan aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.
                Air mataku mengalir lebih deras saat aku memandang batu bertuliskan
                ‘Amira Anisah 17 April 1990 – 17 April 2010’
                Ya, dia meninggal.
                Bahkan saat ulang tahunnya, aku mendatangi tempat ia dimakamkan satu minggu setelah dia meninggal. Karena dokter bilang aku koma satu minggu. Dan aku baru bangun tadi pagi jam dua belas malam. Di benakku, aku membuat sebuah perjanjian. Aku tidak akan pernah memaksa orang lagi bahkan sebelum mereka memintaku untuk tidak menggodanya, karena jika aku memanksa, malah akan membuat musibah. Tidak hanya musibah bagi orang tersebut, itu akan menjadi musibah setiap orang.


Cepat Sembuh Mama (Karya Siswa Al Azhar 19 Cibubur)





By: Khoyrunnisa


Aku hanya diam, mematung saat aku mendengar ibu berkata seperti itu. “Apa bu? Ulang deh, ulang coba. Ngomong apaan barusan?”
                “Ibu harus dirawat di rumah sakit”, Ibuku berkata sekenanya.
                “Hah? Ngapain?”
                “Ibu sakit”, ia menjawab sekenanya lagi. “Rahim ibu kayaknya harus diangkat”
                Aku terdiam. “Kenapa?” Aku bertanya setelah lima detik atau lebih berlalu.
                “Ada penyakit hormonal di rahim ibu. Namanya adenomiosis”.
                “Tapi…. Amit-amit ya bu, bukan kanker kan?” aku bertanya setengah bercanda. Namun raut wajah ibu menjadi serius. Aku mulai menyadari bahwa; ini bukan lelucon. Ini buka lelucon belaka. Pertanyaanku buka lelucon biasa.
                Ibu dengan muka tertunduk, mengangguk. Jleeeb!!! Anggukan ibu seperti pisau yang dihantamkan ke dadaku. Aku hanya bisa tercengang, “Terus di rumah sakit ntar ngapain?”
                “Ya, dirawat. Dioperasi”.
                Kejadian ini terjadi dua bulan yang lalu. Aku masih mengingatkannya di dalam pikiranku. Tak bisa terbayangkan olehku, ibuku, baru berumur 35 tahun, operasi pengangkatan rahim? Terus, dia ditemenin sama siapa? Sama ayah? Ngga mungkinlah! Mereka udah cerai empat tahun lalu. Tapi ibuku termasuk orang yang tegar. Banyak cobaan menghadangnya. Namun, dia tidak pernah menyerah. Makanya aku menjadikannya sebagai penutanku.
                Saat operasi dua bulan lalu dilakukan, Alhamdulillah, rahimmnya tidak jadi diangkat. Biang kerok penyakitnya itu cukup dilaser, menggunakan alat-alat canggih zaman sekarang.
                Ku kira, setelah itu penyakitnya tidak akan kambuh lagi. Tetapi takdir berkata lain. Sekitar seminggu yang lalu, ibuku mengajakku makan di sebuah restaurant. Ia menceritakan bahwa, penyakitnya dating lagi. Dan, penyakitnya ini sudah stadium empat. Jika sudah stadium lima, dinyatakan kanker. Jadi mau ngga mau, rahimnya harus diangkat.
                “Ya ampuuun ibu… sabar ya. Ibu ngga sedih?”
                “Ngga dong, sayang. Semua musibah pasti punya hikmah. Coba kalau rahim ibu ibu diangkat…?”
                “Ibu ngga menstruasi lagi.”
                “Terus kalau ibu ngga dapet lagi…?”
                Aku berpikir keras selama satu menit, atau lebih. “Ibu bisa beribadah sama Allah tanpa henti. Ibu bisa solat terus, puasa penuh tanpa halangan.”
                Ibu memelukku. “pinter.”
                Sekarang aku tinggal menunggu tanggal 2 November 2011 datang, dimana operasi yang mempertaruhkan nyawa itu tiba. Dimana akan ditentukan, apakah ibuku akan selamat, atau tidak.
                Semua, mohon doanya ya..


November 19, 2011





Banguuuun mbeeeem,,, berjemur mumpung mataharinya anget-anget kuku
Sms terkirim. Dengan sukma yang masih belum menyatu dengan raga saya mengetik sms pertama saya untuk memulai hari sabtu ini ke mbem, pacar saya tentunya. Sudah bias dipastikan ia tidak akan langsung membalas sms saya karena pasti masih tidur. Benar saja 4 jam kemudian baru dibalas,
Baru bangun say, semalem gak bisa tidur cos kemaren abis solat jumat aku tidur mpe sore. Udah mendingan sih cuma masih ada sesek-seseknya sedikit.
Dia sakit karena terlalu capek, dan alergi dingin nafasnya menjadi sesak. Tapi dari sms itu sepertinya ia masih belum 100% fit.
Saya langsung balas,
Ckckck tidur ga teratur banget mbeeem. Kalo masih sakit ga usah dipaksa dateng mbem cos tempatnya jauh banget.
Temannya ada yang menikah, sebelumnya saya sempat bertanya apakah akan hadir ke pernikahannya atau tidak, mengingat tempatnya yang jauuuuuh sekaleeee sampai-sampai di peta, tidak nampak  cawang –tempat tinggal saya- mengingat ia yang masih kurang fit takutnya tambah parah sakitnya, jadi sebagai pacar saya menyarankan untuk tidak dipaksa datang.
Dia pun membalas,
Daerah mana sih ndut tempatnya? Napak tilas ga jauhnya? Gimana yauda kalo gitu kita ketemuan yuk di Akm pas pengajian nanti abis itu malmingan deh.
Temannya yang mau nikah kok malah tanya sama saya??? Hahaha yak, karena undangannya terbawa oleh saya. Seneng dia ngajak malmingan kayak anak ABG yang baru pacaran, hah soalnya kita jaraaaang bangeeeet malem mingguan. Saya sudah menduga secara akurat, tajam, setajam silet bahwa kita malem mingguan setelah pulang dari kondangan, yeeeaaahhh jingkrak-jingkrak.
Saya balas,
Deket-deket Ciledug mbem, Pondok Indah sonoan lagi. Mau jalan kapan? Uia, ke Ancol apah, ada UrbanFest disono tapi ga ada Homogenic.
Saya memberi referensi ke Ancol, ada acara Urban Fest dan juga komunitas saya ikut serta dalam acara tersebut. Wow asiiik perjalanan hari ini bakalan panjaaaaang kaya choki-choki abis kondangan ke malmingan di Ancol.
Dia balas,
Enaknya jalan kapan jam berapa? Emang sekarang ya Urban Fest nya?
Saya balas,
Aku sih terserah kamu sayangku
Dia balas,
Hmmm yowes deh agak sorean aja kali ya. Nanti aku kabarin kalo udah mau jalan.


Dst saya masih sms-an. Saya pun bergerak melakukan hal-hal  yang bias dikerjakan mulai dari makan, makan, dan makan, setelah ditelaah kok saya makan terus? Lah lah ga bisa ni begini terus-terusan, akhirnya saya mencuci mukena yang entah sudah berapa taun saya tidak cuci. Tidak berhenti sampai di situ saya akhirnya menyetrika baju sambil makan dan nonton futsal. Makan lagi.
Setelah selesai saya pun membuka benda persegi empat warna hitam, saya colok kabel ke colokan, saya tekan tombol power, terlihat sinar yang terpancar ke mata saya. Yaaak this is it laptop. Kemudian jemari saya mulai mengorak-arik isinya, membacanya hingga tak terasa kok jadi gelap, saya tidak melihat apa-apa, dan mendengar apa-apa. Yaaaak saya ketiduran.
Wrrriiipiiii –bunyi sms masuk- terlihat ada dua sms. Saya lihat jam sudah pukul 17.30.
Ni aku jalan
Volvo
HAAAAAH mbem udah mau nyampe rumah saya, sebagai laki-laki sejati yang hendak menjemput wanitanya. Kontan saja saya kaget dan langsung buru-buru pakai baju, dandan seperti wanita –loh emang saya apa-
Saya pun turun dari kamar atas ke ruang tamu yang ada di bawah. Ternyata ada tamunya mamake disana, biasalah mamake kalo ada orang bertamu suka caper –cari perhatian- 
“heh itu mao kondangan begitu bajunya? Rambut masih acak-acakan” teriak mamake
“udah malem ini acaranya, lagian siapa yang mau merhatiin” kata saya
Bla bla bla bla saya sudah tidak hafal lagi apa hujatannya.
Saya jadi malu pertama sama teman mamake, kedua sama mbem, karena mamake membuat saya malu. Akhirnya saya pun jadi naik-naik ke puncak kemarahan dan kekesalan yang tak sengaja dan sudah biasa kecipratan ke orang lain, kali ini yang kena adalah mbem
“jam segini mah bukan sore namanya” gumam saya
“hah bilang apa tadi”kata mbem yang mendengar samar-samar gumaman saya
“hah ngga,, ngga papa” jawab saya
“tadi kamu ngomong apa, kurang jelas” jelas mbem
“hah perlu diperjelas?”saya ragu, saya Tanya dulu
“iya apaan tadi”paksa mbem
“Jam segini bukan sore namanya” ceplos saya
Ia pun diam, kemudian izin solat magrib ke mamake. Saya bingung kok mbem pakai kaos. Ya sudahlah daripada ga pakai apa-apa, piker saya. Sambil menunggu ia solat, saya menyiapkan isi tas saya. Ketika ia selesai solat kami pun berpamitan dan berangkat.
Belum sampai jalan raya,
“eh eh mbem berhenti undangannya ketinggalan. Aku ga apal alamatnya” teriak saya
“hah emang mau ke kondangan”kata mbem polos
“lah emang mau kemana?”Tanya saya bingung
“kan aku bilang kondangannya ga jadi, kan kejauhan kata kamu”jelas mbem yang makin membuat saya bingung
“kapan kamu bilang gitu?”Saya bingung dan mulai kesal
“mau di kroscek lag isms kita yang tadi-tadi?”tawar mbem
“Silakan, siapa takut wong kamu ga ada pernyataan kalo kamu ga jadi kondangan.”
Kita pun membaca sms yang tadi sudah saya tuliskan di atas, saya yang dikerubutin rasa kebingungan ditambah rasa kesal sedikit menghasilkan rasa gondok yang luar biasa lezatnya. Setelah dibaca-baca bersama saya pun merasa menang, karena sms dia yang menyatakan tidak jadi kondangan tidak ada. Namun pertarungan tidak berhenti sampai disitu.
“Jadi ke kondangan atau ke ancol ni?” Tanya mbem yang mulai kesal juga
“Hah aku udah dandan kayak gini?” hah aku bingung masa iya ke Ancol jam segini nyape-nyapein aja, buang-buang ongkos aja, trus kalo ke kondangan, alamatnya jauhnya bikin gue males melanjutkan hidup.
“ya aku kan berencana ke ancol aja ga jadi kondangan sesuai saran kamu”
“TAPI, ga ada pernyataan bahwa kamu batal kondangan!!” saya mulai ngotot karena dia tidak mau salah. Biasa laki-laki mah rata-rata egois. Seharusnya saya yang marah sama dia tetapi dia balas lebih marah. Seandainya dia meminta maaf, masalah selesai, karena saya tidak suka berantem. Tapi dia ngotot kalau dia yang benar.
“Kalo ke Ancol aku ganti sepatu dulu, ga enak pake high heels kayak gini” Saya ngambek.
Motor balik arah ke rumah lagi, kita masih berdebat antara ancol atau kondangan,, hah bullshit kalau tau bakal ke ancol gue ga perlu cape-cape dandan kayak cewe ginih. Dengan langkah kesal saya kembali ke rumah dan mengganti sandal, kamipun berangkat ke ancol dengan emosi yang masih meluap-luap tapi ditahan-tahan.  Berasa nahan kentut tau ga lo, sakiiiitnya minta ampun.
Sepanjang jalan hanya terdengar suara kendaraan dan klakson, bukan tawa canda kami yang biasanya menghebohkan jalanan. Terus-menerus kami membisu sepanjang perjalanan menahan kesal dan marah Hei ga ada yang benar benar BENAR dang a ada yang sepenuhnya salah dalam kasus ini. Ini salah paham boy, kenapa kamu yang jadi semarah ini, batinku. Mbempun mengendarai motor seenaknya senggol sana, senggol sini kebut-kebutan. Pertanda kalau dia memang dalam keadaan marah, emosionalnya tak dapat dikendalikan lagi. Saya pun menangis di belakang tubuh mbem yang membonceng saya karena tak kuasa menahan marah. Hampir sampai mangga dua saya membuka percakapan
“ntar kalau ketemu ATM berenti yah, aku ga ada duit tunai sama sekali” kata saya
Dia hanya mengangguk pertanda “iya” Kami pun melaju lagi hingga sampai pintu masuk Ancol, dan mencari-cari ATM, yak akhirnya ketemu juga, saya turun dan melangkah ke ATM, masih dengan kondisi bisu. Kami melaju lagi lagi menuju lokasi Urban Fest, sesampainya disana masih diem-dieman.
Saya tidak kuat lagi, lo tau ngga rasanya jalan ni jauh, sepasang insan diem-dieman tuh rasanya pengen nonjok kaca sampe pecah, baru deh lega.
“masih marah?”Tanya saya terpaksa
“ga kok”jawab mbem sekenanya
Ia pun pergi ke kerumunan orang-orang dekat panggung meninggalkan saya. Saya pun menangis. Gila jahat banget. Pikir saya. Saya pun sibuk sms-an dengan teman saya yang mengisi acara di urban fest ini.
Saya melangkah pergi meninggalkan mbem, tapi ia mengikuti saya dari belakang. Saya pun bertemu dengan teman saya itu dengan menyapa sebentar, kemudian duduk untuk menyelesaikan masalah dengan mbem.
“Ga enak mbem malem mingguan diem-dieman kayak gini”kata saya yang merasa ga kuat sebagai cewek didiemin kayak gini
“Bisa ga sih ndut, kamu ngertiin aku, aku udah bela-belain buat ketemu kamu kamu walopun badan masih kurang sehat tapi kamu malah marah-marah gini. Tinggal ganti kostum trus kita jalan apa susahnya sih. Aku ga masalah tadi kamu ketiduran atau apa, tapi tolong dong jangan sambut aku dengan cemberutan kamu sampe kamu bilang jam segini bukan sore laaah..”
Saya bingung apakah semua lelaki didunia ini suka sekali memutarbalikkan fakta, yang membuat saya marah karena ia tidak bilang mau jalan jam berapa, dan tau-tau tidak jadi. Saya menunggunya sampai ketiduran. Saya beri penjelasan ia marah-marah tidak terima. Ia marah-marah saya tidak diberi kesempatan untuk bicara sedikitpun sebagai bentuk pembelaan.
Suatu hubungan jangan hanya buat senang-senang semata. Kita hampir 4 tahun menjalani hubungan, tapi belum bisa saling mengerti dan berpikir jernih saat sedang ada konflik. Saya mudah terbawa emosi, dia terlalu egois. Kita masih sama-sama labil. Ini proses pendewasaan. Maafin aku sayang.