1. Shattered Glass (2003)
Di
antara daftar film di postingan ini, ini adalah film yang pertama kali
saya tonton. Film ini bagus sekali menurut saya, sayang tidak mendapat
promosi yang cukup sehingga tidak banyak orang tahu, salah satu
produsernya bahkan Tom Cruise (yang membuat saya kaget). Diangkat dari
kisah nyata tentang seorang jurnalis muda berbakat bernama Stephen Glass
(Hayden Christensen) yang bekerja di Majalah New Republic. Kisahnya
berpusat pada perjalanan karir Stephen pada tahun 1990-an yang
artikel-artikelnya diakui sangat bagus dan turut mengangkat popularitas
majalah tempatnya bekerja, sampai suatu saat, artikelnya berjudul “Hack
Heaven” ternyata diketahu merupakan artikel fiksi, semua data dan
narasumber adalah karangan Stephen sendiri, penemuan itu berbuntut pada
penemuan artikel-artikel lainnya yang ternyata totalnya ada 27 artikel
dari Stephen yang fiksi, kebohongan ini membuat dirinya dipecat dan New
Republic memuat pernyataan maaf kepada publik atas kebohongan 27 artikel
tersebut.
Tidak
diungkapkan dengan jelas, apa yang menyebabkan Stephen sampai berani
berbohong kepada pembaca, mengingat kalau disimak dalam film ini. Dia
punya kemampuan kerja jurnalistik yang bagus (Pada masa itu selain di
New Republic, ia juga dikontrak beberapa media cetak lain sehingga
dikenal sebagai jurnalis muda yang berpenghasilan besar).
Yang
saya suka dari film ini adalah gambaran proses kerja jurnalistik di
media cetak, khususnya majalah. Dimulai dari reportase, penulisan,
pengecekan data dan fakta, editing, direvisi oleh jurnalisnya,
pengecekan data fakta dan editing kedua kali lalu siap dilayout dan naik
cetak. Atmosfer jurnalistiknya terasa sekali, kantor redaksi yang penuh
sesak, di lobi kantor dipasang majalah edisi-edisi sebelumnya. Yang
miris, sifat bohong Stephen Glass ini seolah ingin dipertahankan sampai
akhir film ketika obrolannya dengan murid-murid SD tempatnya bersekolah
dulu ternyata cuma khayalannya.
2.The Hunting Party (2007)
Rekomendasi
seorang teman dan nama besar pemeran utamanya adalah alasan saya mau
menonton film ini, filmnya bercerita tentang Simon Hunt (Richard Gere)
jurnalis televisi spesialis daerah konflik dan perang dengan pasangannya
kameramen yang akrab dipanggil Duck (Terrence Howard). Selama
bertahun-tahun mereka dikenal pasangan jurnalis yang berani dan sukses
meraih banyak penghargaan, semuanya berubah ketika laporan langsung dari
Bosnia, Simon melaporkan sambil marah-marah di televisi “Ini bukan
perang! Ini pembantaian” dan beragam kata-kata makian lainnya, Simon
kemudian dipecat namun tetap bekerja sebagai jurnalis dan menjual
videonya liputannya ke beberapa televisi di berbagai negara sementara
Duck tetap bekerja di televisi tersebut dan semakin naik jabatannya.
Bertahun-tahun kemudian mereka bertemu lagi di Bosnia ketika Duck dan
timnya termasuk Benjamin, anak wakil direktur televisi (Jesse Eisenberg,
yang kabarnya akan bermain sebagai Mark Zuckerberg dalam film tentang
Facebook berjudul “The Social Network” tahun ini) hadir di suatu acara
PBB dan disana Simon mengajak Duck, juga akhirnya Benjamin untuk
mengadakan wawancara eksklusif dengan penjahat perang di Bosnia bernama
Radoslav Bogdanović alias “The Fox” yang kemudian dalam usaha pencarian
tersebut menjelaskan kenapa Simon Hunt marah-marah saat siaran langsung
beberapa tahun lalu.
Agak
kecewa sih dengan film ini, karena saya mengira ini film yang kental
thrillernya. Namun ternyata memang lebih banyak porsi drama dengan
ending yang “Yah cuma gitu”. Oke, setelah gambaran reportase berbahaya
Simon dan Duck serta pencarian The Fox yang berliku endingnya biasa saja
tentu kurang gereget jadinya. Namun ada kalimat yang cukup memorable buat
saya ketika Benjamin berkata bahwa fakta di medan perang tidak sama
dengan yang ia pelajari di sekolah jurnalistik lalu Duck membalas “Hei,
tidak semua yang kau pelajari di sekolah jurnalistik itu sama dengan
yang ada di lapangan.” Aha, ini memang benar sekali, sejauh pengalaman
dan hasil belajar saya secara informal tentang jurnalistik. Jurnalis
memang tidak boleh kaku dan baku terhadap teori, mereka harus berani
improvisasi dan beradaptasi dengan kondisi lapangan. Inilah dinamikanya,
dan inilah yang saya suka dari jurnalistik.
3.Veronica Guerin (2003)
Film
ini diangkat dari kisah nyata jurnalis wanita bernama Veronica Guerin
asal Irlandia. Adegan pembukanya menampilkan Veronica (Cate Blanchett)
yang sedang menyetir dan menelepon rekannya ketika kemudian mobilnya
berhenti di lampu merah, ia ditembak oleh pengendara sepeda motor dan
tewas seketika. Film kemudian bergerak mundur dan menceritakan kisah
Veronica sebagai jurnalis koran Sunday Independent, pada waktu ia
menulis berita tentang kejahatan narkoba yang sudah parah tingkatnya di
Dublin. Investigasinya kemudian membawanya ke bandar narkoba bahkan bos
para bandar. Namun keberhasilannya dalam penelusuran itu justru
memberikan dampak negatif, pada bulan Oktober 1994 sekelompok orang
melepaskan dua tembakan ke rumahnya sebagai bentuk peringatan sekaligus
ancaman kepada ia dan keluarganya. Setelah itu ia pernah diserang
seorang pria masuk ke rumahnya dan menembak kakinya, namun itu tidak
membuatnya menghentikan reportasenya terhadap kasus tersebut, padahal
banyak pihak yang sudah melarangnya. Bahkan ketika ia tiba di rumah sang
bos bandar narkoba ia malah dipukuli sampai luka parah dan puncaknya
adalah penembakan yang menewaskan dirinya.
Film
ini adalah film yang menurut saya paling berhasil menampilkan sisi
humanis seorang jurnalis, Veronica yang seorang istri dan ibu serta
seorang jurnalis yang ngotot dan pantang menyerah digambarkan dengan pas
dan seimbang di sini. Resiko pekerjaan jurnalis yang sering berhadapan
dengan orang-orang “penting” dan “berbahaya” ditunjukkan di sini, sikap
ngotot Veronica sendiri memang menggambarkan sikap jurnalis pada umumnya
yang saya ketahui. Ketika sudah meliput suatu berita, jurnalis akan
terus memburu sampai dapat. Yang menarik ada kemunculan Collin Farrel di
sini, dia berperan sebagai pria yang sedang minum di bar lalu sempat
menggoda Veronica. Kematiannya pada tahun 1996 menimbulkan kemarahan dan
kecaman terhadap para pelakunya, sebagian besar ditangkap dan bahkan
ada yang dihukum mati.
4.State Of Play (2009)
Film
ini merupakan adaptasi dari serial televisi di Inggris dengan judul
yang sama. Sebenarnya film ini lebih bergenre kepada thriller tentang
politik, namun nuansa jurnalismenya juga kental di sini. Banyak nama
aktor dan aktris besar di sini, mulai dari Russell Crowe, Ben Affleck,
Rachel McAdams, Hellen Mirren sampai Jeff Daniels. Russell Crowe
berperan sebagai Cal McAffrey (yang nampak gemuk, berantakan dan
gondrong di film ini) wartawan harian Washington Globe yang menyelidiki
kasus pembunuhan seorang pemuda dan seorang anggota kongres AS bernama
Sonia Baker yang terjadi dalam waktu kurang dari sehari semalam.
Belakangan kasus ini malah melibatkan Stephen Collins (Ben Affleck) bos
dari Sonia yang juga anggota kongres sekaligus sahabat lama dari Cal
karena ada dugaan Stephen memiliki affair dengan Sonia, padahal Stephen
sudah beristri. Bersama rekannya Della Frye (Rachel McAdams) wartawan di
harian yang sama sekaligus blogger, Cal meliput kasus ini dan menemukan
fakta-fakta mencengangkan bahwa kasus pembunuhan ini merupakan
konspirasi politik antara kongres AS dengan perusahaan bernama Point
Corp.
Tema
konspirasi politik yang melibatkan pemerintah juga merupakan tema film
yang saya sukai, jadi ketika film ini menggabungkannya dengan jurnalis
sebagai tokoh utamanya film ini menjadi salah satu film favorit saya.
Selain soal tema saya juga suka dengan para pemainnya khususnya Russell
Crowe dan Rachel McAdams, Russell menampilkan satu sisi lagi dari
jurnalis dengan gaya berantakan, brewokan dan tidak rapi itu, entah
memang itu penampilan aslinya saat ini atau memang penampilannya khusus
untuk film ini tapi dia berperan dengan meyakinkan. Rachel McAdams juga
saya suka di sini, dia cantik dan mempesona dua kali lipat dibanding
saat dia menjadi Irene Adler di Sherlock Holmes. Perannya di sini juga
penting, tidak sekedar menjadi pemanis di film detektif itu (terlepas
itu adalah film pertama dan bersifat perkenalan).
5.Beyond A Reasonabled Doubt (2009)
Yang
satu ini merupakan remake dari film berjudul sama, film pertamanya
dirilis tahun 1956 dan merupakan film noir yang menampilkan sedikit gaya
visual, penggambaran konflik dan plot yang mengejutkan di bagian akhir
dengan ending yang di luar dugaan. Remakenya dibintangi oleh Michael
Douglas, Amber Tamblyn dan Jesse Metcalfe. Kalo di film pertamanya media
massanya adalah koran di remakenya diganti menjadi televisi, nama-nama
karakternya juga diganti. CJ (Metcalfe) adalah seorang jurnalis muda
yang berprestasi namun ambisius. Ia memandang sosok Jaksa Wilayah yang
sedang naik daun, Martin Hunter (Douglas) adalah seorang yang curang
dalam setiap menangani kasus, CJ yakin Hunter memanipulasi bukti agar ia
bisa menjebloskan terdakwa dari setiap kasusnya. Untuk membuktikan itu
CJ dan rekannya juga dibantu Ella, staf (Tamblyn) dari Hunter yang
kemudian menjadi kekasihnya nekat merekayasa bukti dari suatu kasus
pembunuhan yang belum diketahui pelakunya, CJ merekayasa bukti agar
semuanya dibuat seolah mengarah pada dirinya dan pada persidangan ia
bisa membuktikan bahwa sebenarnya Hunter adalah Jaksa yang curang dan
menggunakan popularitasnya untuk maju dalam pemilu mendatang. Kisahnya
berlanjut sampai konflik yang semakin rumit ketika rencana CJ mengalami
hambatan dan ending yang menunjukkan siapa si “penjahat” sebenarnya.
Sebenarnya
film ini punya premis yang bagus dan bisa menjadi film thriller yang
baik, sayangnya entah kenapa kok malah jadi gagal total, beberapa
referensi yang saya baca juga memberi cap buruk untuk film ini. Waktu
nonton pun sebenarnya hanya untuk menuntaskan rasa penasaran saja, dan
memang patut diakui kemasannya yang maunya thriller jadi agak datar di
film ini. Kalau saja dikemas dengan penuturan yang lebih baik saya yakin
film ini tidak akan jadi film thriller tanggung.
6.Balibo (2009)
Yang
terakhir ini adalah film yang sempat menimbulkan kontroversi karena
oleh LSF dilarang tayang Jiffest tahun lalu, film produksi Australia ini
diangkat dari kisah nyata pada tahun 1975 tentang pembunuhan 5 jurnalis
Australia oleh tentara Indonesia pada saat Timor-Timur diduduki
Indonesia. 5 orang jurnalis televisi tersebut awalnya memang bertujuan
untuk meliput serangan tersebut, tapi mereka salah mengira bahwa status
mereka sebagai jurnalis tidak menjamin keselamatan mereka. Film ini
menggambarkan pencarian jurnalis senior Roger East di Timor-Timur untuk
menemukan jurnalis tersebut, pada awalnya ia diundang Jose Ramos Horta
untuk menjadi kepala kantor berita di Dili dan menyebarkan kondisi
Timor-Timur ke seluruh dunia namun pada akhirnya Roger juga menjadi
korban serangan tentara Indonesia.
Kesan
saya untuk film ini? Kecewa. Ya film ini tidak seheboh berita maupun
resensinya, walaupun sebenarnya bisa dimaklumi karena ini film yang
menampilkan sejarah dan kalau boleh dikatakan film-film seperti ini
punya kepentingan tersendiri. Saya tidak berkomentar soal fakta
sejarahnya, karena memang saya tidak menguasainya. Namun film ini memang
cenderung membosankan, plotnya sih cukup bagus karena menampilkan dua
bagian secara bergantian, ketika 5 jurnalis yang kemudian disebut
“Balibo Five” tiba pertama kali di Timor Timur sampai dibunuh, setiap
adegan yang menampilkan 5 jurnalis tersebut tiba di suatu tempat dan
bekerja lalu menampilkan perjalanan Ramos Horta dan Roger East di tempat
yang sama dengan kondisi yang jauh berbeda meski hanya selang beberapa
hari.
Kekecewaan
dan kemudian kebosanan makin terasa karena film ini minim musik latar.
Entah kenapa musik latar cuma muncul di seperempat akhir bagian film,
ketika serangan tentara Indonesia dimulai. Sisanya? Tidak ada musik
latar dan membuat saya yang menonton adegan per adegan tidak terbangun
mood-nya. Satu yang jadi pertanyaan adalah pemeran tentara Indonesia,
mereka sempat berdialog Indonesia seperti “Keluar!” selebihnya sih tidak
ada. Yang jadi pertanyaan adalah apa ini benar-benar orang Indonesia?
Kalau memang iya kenapa mereka mau bermain di film yang justru
menyudutkan Indonesia?
Sebenarnya
ada beberapa film lagi sih, tapi tentunya terlalu banyak kalau ditulis
semuanya. Antara lain “All The President’s Men”, yang ini saya belum
nonton tapi kalau tidak salah film ini bercerita tentang skandal
Watergate lalu ada juga “Resurrecting The Champ” yang bercerita tentang
kebohongan tak disengaja dari sebuah artikel, sedikit mirip dengan
“Shattered Glass”. Yang pasti film-film ini memberikan perspektif baru
pada penonton tentang profesi jurnalis yang sebenarnya merupakan pekerja
kemanusiaan dengan caranya sendiri, melaporkan berita kepada
masyarakat.
sumber : http://ekajazzlover.wordpress.com/2010/02/26/film-film-tentang-jurnalis/